Selasa, 02 April 2013

Mereka Memilih Hidup di Jalanan

Mereka Memilih Hidup di Jalanan

Perhatian, buka di jendela baru. PDFCetakE-mail

Kita sering melihat segerombolan remaja yang berpakaian unik jika tidak ingin disebut aneh. Mereka tegak di persimpangan, membawa gitar kecil sambil bernyanyi. Mereka mengaku sebagai anak punk mengikuti aliran bebas berekspresi tanpa harus mengganggu orang lain. Ada apa dengan mereka, kenapa mereka berada di jalanan? Mereka berkumpul, bergaul dan mengamen. Itukah kehidupan mereka?

Ambi, seorang remaja yang di telinganya dipenuhi kerabu alias subang bahkan salah satu telinganya sudah melebar karena lubang subangnya begitu besar merupakan salah satunya. ‘’Saya memilih jalan ini karena merasa nyaman bergaul dengan mereka. Tidak ada jarak di antara kami, tidak hanya makan dengan piring yang sama tapi juga minum dengan gelas yang sama,’’ sebut Ambi.

Kiranya dia meninggalkan rumah karena di rumahnya dia merasa kesepian, orang tuanya sibuk bekerja, entah untuk siapa. Di luar bersama teman-temannya dia merasa nyaman dan terlindungi, meski sesekali harus dikejar oleh pihak keamanan dari Satpol PP.

Karena aktivitas ini, Ambi sempat berhenti sekolah, tapi akhirnya sadar dan memutuskan kembali ke bangku sekolah namun pergaulan dengan teman-temannya sesama anak punk tetap berlanjut. ‘’Saya ingin mencari jati diri, hal itu pula yang menjadi penyebab saya seperti ini, bergaul dengan anak jalanan. Dan saya menemukan yang saya cari, yaitu persaudaraan,’’ ucapnya. 

Menurut Ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitas Pelayanan KPAID Kota Pekanbaru Yuliantony SPi, persoalan utama dari kondisi anak di Pekanbaru ini adalah tidak adanya data valid tentang pekerja anak. Ada data dari Dinas Badan Sosial dan Pemakaman, tapi itu juga dengan indikator yang tidak sesuai. Misalnya anak 17 tahun ke bawah. Kemudian ada juga data dari Dinas Sosial tentang anak jalanan tapi data itu tahun 2000 yang jumlahnya 450 anak. Sehingga kalau pada tahun 2000 didata belum berumur 18 tahun, sekarang kalau dari itu masih dipakai tentu tidak berumur 18 tahun lagi. Kedua, ada persoalan dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Di dalam UU tenaga kerja, anak boleh bekerja di pekerjaan yang ringan itu berumur 13 tahun ke atas. Tetapi UU Nomor 20 1999 tentang batas minimum boleh bekerja disebutkan, anak yang boleh bekerja itu minimal 15 tahun.

Berangkat dari itu, menurut Yuliantony, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Pekanbaru melakukan pendataan anak yang untuk awal ini dikhususkan bagi anak-anak jalanan. ‘’Nanti juga akan kita lakukan juga terhadap anak-anak yang bekerja di sektor batu bata dan lokalisasi dan sektor berbahaya,’’ ungkapnya.

Dari pendataan tersebut, ungkap Yuliantoni, jumlah anak jalanan yang berada di Kota Pekanbaru kalau dibandingkan dengan data di Dinas Sosial dan Pemakaman tahun 2000 jumlahnya berkurang dari 450 menjadi 128 anak. Selain itu ada juga data dari Komisi Aksi Kota untuk bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak dan KPAID sendiri merupakan anggota dari Komisi Aksi Kota tersebut.

Adapun pembentukan Komisi Aksi Kota itu, menurut Yuliantoni, merupakan output dari Keppres Nomor 59 tahun 2002 tentang Rencanna Aksi Nasional Penghapusan Pekerjaan Terburuk Bagi Anak. Di provinsi telah terbentuk dua atau tiga tahun yang lalu, Keppresnya tahun 2003 tapi pelaksanaannya untuk pembentukan Komite Aksi Kota baru tahun 2007 lalu.

‘’Itu yang menjadi persolan. Isu anak bukan menjadi isu yang seksi bagi pemangku kepentingan. Isu anak dianggap sebagai yang kesekianlah. Padahal, anak itu penting karena anak hari ini perwujudan orang dewasa di masa depan. Baik buruknya situasi anak hari ini menggambarkan baik-buruknya situasi negara kita di masa depan,’’ ungkap Yuliantony.

Kembali ke pendataan, menurut pria yang akrab dipanggil Tony ini, KPAID Kota Pekanbaru dalam melakukan penelitian berorientasi aksi. Jadi bukan saja sekadar pendataan dan mengumpulkan data tentang dan keadaan anak, tapi pendekatan yang dilakukan berbasis aksi. ‘’Artinya, pertanyaan yang muncul di kuisioner itu muncul sebuah kegiatan atau program yang bertujuan untuk membimbing anak bagi kepentingan terbaik bagi mereka,’’ ungkapnya.

Dari hasi pendataan di enam titik tersebut terdapat 128 anak yang bekerja di jalanan. Ke enam titik yang didata KPAID tersebut adalah di Simpang Mal Ska (Kecamatan Tampan), Simpang Gramedia (Kecamatan Pekanbaru Kota), Simpang Jalan Harapan Raya-Sudirman (Kecamatan Bukit Raya), Simpang Pasar Pagi Arengka (Kecamatan Marpoyan Damai), Ramayana di sekitar Pasar Kodim (Pekanbaru Kota) dan Simpang Jl Riau-Jl Yos Sudarso (Kecamatan Senapelan).

‘’Saya lihat jumlahnya tidak statis. Yang tetap itu perubahannya itu karena berubah terus. Memang kecendrungan itu musim-musimam, seperti saat liburan. Data yang kita munculkan itu pemain yang terus-menerus mereka di situ,’’ ungkapnya.

Dalam penelitian tersebut, dari 134 orang yang teridentifikasi, hanya 128 orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Sedangkan 6 orang lainnya berusia lebih dari 18 tahun. Dari 128 tersebut 6 orang (4 persen) berusia antara 0-6 tahun, 44 orang (33 persen) berusia 7-12 tahun dan 77 orang (57 persen) berusia 13-18 tahun.

Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, menurut Tony, 88 persen atau 113 orang berjenis kelamin laki-laki dan 12 persen atau 15 orang berjenis kelamin perempuan. Uniknya, dari data tersebut juga terungkap tidak satu pun dari anak tersebut yang bertempat tinggal di luar kota. Persentase tempat tinggal mereka di marpoyan Damai atau 41 persen dan di Tampan 14 persen sedangkan di kecamatan lain jumlah anak jalanan kurang dari 10 persen.

Sementara itu dari segi pendidikannya, lanjut Tony, 62 orang atau 48 persen tidak bersekolah. Dari 62 orang itu, sebanyak 22 orang berhenti dari sekolahnya. Sedangkan anak yang bersekolah mencapai 64 orang (50 persen) dan 11 di antaranya bersekolah di sekolah swasta, sedangkan yang bersekolah di sekolah negeri sebanyak 53 orang. Selain itu dari 64 anak yang bersekolah, hanya satu orang yang bersekolah di tingkat SMA, 15 orang di tingkat SMP dan 49 orang di tingkat SD.

Dari segi pekerjaan, sebanyak 61 orang atau 48 persen menjual koran, mengamen 23 orang atau 18 persen, pengemis adalah 9 orang (7 persen). Di samping itu ada juga anak jalanan yang melakukan dua atau tiga jenis pekerjaan misalnya ngamen, jual koran dan nyapu mobil (15 persen) dan jualan koran dan menyapu mobil sebanyak 4 orang (3 persen). Ada juga yang menjadi kenek oplet walaupun jumlahnya sangat sedikit (1 orang).

Adapun penghasilan yang didapat anak-anak tersebut 97 orang (76%) kurang dari Rp20.000 dalam satu hari, 25 orang atau 20 persen menjawab antara Rp21.000 sampai Rp50.000 dan 4 orang atau 3 persen mengatakan bahwa dalam satu hari mereka bisa mendapatkan uang sebesar lebih dari Rp51.000. Menariknya dalam hasil penelitina tersebut mengungkapkan uang hasil jerih payah mereka tersebut tidak ada yang dibelanjakan untuk hal yang negatif. Ada 23 orang anak yang menabung pendapatannya, 18 orang untuk orang tuanya dan 15 orang untuk sekolah. Sementara itu berdasarkan inisiatif, 25 orang anak melakukan kerja di jalan atas inisiatif sendiri dan 16 orang disuruh baik oleh teman, orang tua maupun keluarga. Namun sebagian besar anak tidak mau menjawab apakah atas inisiatif sendiri atau disuruh.

Uniknya, meski ditemukan ada satu orang anak menderita penyakit kelamin, namun tidak ada satupun anak yang mengatakan bahwa pelecehan seksual adalah bahaya yang mengancam mereka di jalan. Sebanyak 75 orang anak jalanan yang tidak menjawab bahaya yang mereka hadapi di jalan. Lebih 18 persen mengatakan bahwa razia yang dilakukan oleh Satpol PP dan Dinas Sosial membahayakan mereka, diikuti dengan perkelahian, bulying dan pemalakan sebanyak 15 orang dan kecelakaan sebanyak 15 orang.

Untuk status orang tua mereka, menurut Tony, 99 anak mengakui kedua orangtuanya masih hidup. Sedangkan jenis pekerjaan orang tua sangat beragam, tetapi sebagian besar adalah di sektor informal. Untuk Ayah, pekerjaan terbanyak sebagai buruh (28 orang) dan dagang (25 orang). Sedangkan yang paling sedikit (hanya 1 orang) adalah pekerjaan tentara, pensiunan tentara dan tukang parkir. Untuk ibu, dari 115 ibu anak jalanan yang masih hidup lebih dari separuh atau 56 orang tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga.

Yang paling mengejutkan, menurut Tony adalah, pendapatan kedua orang tua mereka ada yang di atas Rp1.501.000 per bulan yakni sebanyak lima orang. ‘’Padahal itu bisa dikelompokkan kepada kelompok keluarga sejahtera,’’ terangnya.

Namun, lanjut Tony, 64 anak yang tidak bisa memberikan jawaban berapa besar pendapatan orang tua mereka. Tetapi 51 anak bisa menjawab dengan persentase berpendapatan kurang dari Rp500.000 per bulan yang paling banyak yakni 31 orang. Sedangkan yang berpendapatan Rp501.000-Rp1.000.000 sebanyak 11 orang dan berpenghasilan Rp1.001.000-Rp1.500.000 sebanyak 4 orang.

Selain pendataan tersebut, lanjut Yuliantoni, KPAID Kota Pekanbaru juga telah melaksanakan sosialisai dengan UU yang berkenaan dengan pekerja anak. Bentuknya berupa seminar seminar sosialisasi yang dilaksanakan pada 1 Juli lalu tentang UU 20 tahun 1999 dan UU 1 Nomor 2000 tentang bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak. ‘’Kita undang stake holder tentang bagaimana sistem regulasi tentang pekerja anak itu. Kita mendatangkan narasumber satu dari Jakarta, satu dari Medan dan tiga lagi narasumber lokal. Di dalam seminar tersebut ada kesepakatan di antara peserta untuk mengambil tindakan bagaimana meminimalisasi pekerja anak tapi demi kepentingan terbaik bagi mereka,’’ ungkapnya.

Dalam seminar tersebut juga mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah daerah mengeluarkan Perda. Pemerintah Kota Pekanbaru sendiri, menurut Yuliantony, saat ini sedang menginisiasi peraturan daerah untuk mengantisipasi anak-anak yang bekerja di jalan.  Sedangkan kegiatan lainnya namun belum dilakukan adalah melaksanakan semacam jambore anak atau family gathering untuk anak anak jalanan dan anak korban kekerasan yang jumlahnya lebih kurang 26 orang yang pernah didampingi dan difasilitasi KPAID.

‘’Harapan saya supaya kegiatan hati anak nasional nanti jangan hanya bersifat seremonial tapi bagaiman meningkatkan kepedulian kita terhadap pelanggaran hak-hak anak itu sendiri. Makanya akan kita wujudkan dalam bentuk Deklarasi Peduli Anak Riau 2008 (De Paris 2008,’’ tambah Ketua KPAID Kota Pekanbaru dr H Ekmal Rusdi.

Sementara itu, menurut Dra Husnimar Abdullah, Kepala Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru didampingi Seharudin, Kasubdin Pelayanan Sosial anak terlantar dan anak jalanan memiliki makna yang berbeda. Menurut mereka, anak telantar adalah anak yang karena sesuatu sebab, orang tuanya tidak dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya. Misalnya, anak dari orang tua yang pengangguran, orang tua meninggal dan lainnya sehingga tiga kebutuhan dasar tadi atau salah satunya tidak terpenuhi.

Sedangkan anak jalanan adalah anak yang kehidupannya di jalanan. Anak Jalanan itu, tambah Husnimar dan Seharudin, terbagi dalam empat kategori. Pertama, anak jalanan yang hidup di jalanan. Ditandai dengan ciri-ciri hidup di jalanan selama 8-10 jam. Tinggal di emperan toko, jembatan penyeberangan atau terminal. Dengan keluarga seakan-akan hubungannya sudah putus. Kedua, anak jalanan yang bekerja di jalanan. Ciri-cirinya, anak-anak tersebut bekerja di jalanan selama 8-12 jam. Tempat tinggalnya biasanya di rumah dan umurnya di bawah 16 tahun.

Ketiga, anak yang rentan menjadi anak jalanan. Ciri-cirinya hidup 4-6 jam di jalan. Umumnya masih sekolah dan melakukan aktivitas di jalanan saat usai sekolah atau sebelum sekolah. Mereka masih tinggal bersama orang tua dan umurnya di bawah 14 tahun. Keempat, anak jalanan yang kehidupannya sudah di jalan seharian, yaitu delapan hingga 24 jam.(amf)

0 komentar:

Posting Komentar