Selasa, 02 April 2013

Berhenti Sekolah, Memilih Hidup Mengamen di Jalanan

Berhenti Sekolah, Memilih Hidup Mengamen di Jalanan E-mail



TIDAK mengenal waktu, sebagai pengamen, Adek (14) menghabiskan hari-harinya di jalanan, cafe, rumah makan, perempatan lampu merah di sepanjang jalan Proklamasi, Padang. Bersama gitar tua kepunyaannya, Adek bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan di jalanan Kota Padang.

Rahmad —Padang
Adek tinggal di Koto Panjang Kelurahan Jati Padang Timur. Sebelum turun ke jalan, Adek sempat mengenyam pendidikan sebagai siswa salah satu SMP di Kota Padang. Namun, hanya bertahan hingga sampai di bangku kelas dua.
Adek memilih turun ke jalan, untuk mendapatkan banyak rupiah. Kerasnya kehidupan jalanan, telah mematangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri. Sepanjang jalanan Kota Padang nama Adek, bocak kecil, gesit, lincah dan bersahabat itu sangat dikenal kawan sesama pengamen.
Apalagi, Adek tidak hanya sekedar mengamen. Suaranya yang unik dan memiliki cirri khas tersendiri, membuat para pendengar terkesima. “Hanya bermodalkan suara dan sedikit menghibur, saya bisa mengeruk rupiah dari saku para penumpang angkot dan kendaraan pribadi,” sebut Adek.
Tanpa disadarinya, Sri dari tadi juga memperhatikannya duduk di bangku plastik itu. “Jam segini kok baru muncul” tanya Sri sambil bercanda. “Semalam saya habis ngamen di cafe, jadi pulangnya agak malam,” jawab Adek.
Bocah kecil itu tak mengenal waktu untuk mengumpulkan rupiah. Siangnya berada di jalanan dan malamnya harus ke cafe-cafe dan rumah makan. Adek mengaku, per harinya bisa mendapatkan uang mencapai Rp50-150 ribu. Itu pun kalau turun ke jalan dari pagi. “Banyak atau sedikitnya kita mendapatkan uang, tergantung kepiawaian dan sikap kita terhadap mereka, agar tertarik mendengarkan nyanyian kita,” ulasnya.
Menurut Adek, mengamen adalah pekerjaan yang halal, dapat menghibur penumpang dan berharap uang recehan dari para pendengar dari lagu yang dilantunkan. Itu pun tanpa harus ada paksaan. Uang dari hasil mengamen itulah  digunakan untuk kebutuhannya sehari hari.
Diakuinya, memang sebagian pengamen ada yang jahil. Namun, kejahilan itu karena ketika mengamen, mereka merasa tidak dihargai sama sekali dari masyarakat. “Kita sudah minta izin kepada para penumpang, akan tetapi mereka malah mencemooh dan menertawakan kami saat bernyanyi. Anak jalanan dan pengamen juga manusia punya hati dan perasaan yang harus dijaga,” terangnya.
Berada di jalanan, menurutnya, serasa tidak berada negeri sendiri. Adek menilai, para petugas Satpol PP seperti malaikat maut yang akan mencaput nyawa para pengamen Kota Padang. Seketika petugas datang, entah menghadap ke mana mau lari. Yang penting mereka menghilang dari mereka.
Adek mengaku, dirinya juga pernah terjaring razia petugas. Sahabat satu-satunya gitar tua miliknya diambil petugas Satpol PP.
Setelah diberikan binaan dan teguran agar tidak lagi berada di jalan, para pengamen dikeluarkan dengan surat perjanjian. Namun, pekerjaan yang sudah mendarah daging tersebut, tidak bisa dipisahkan dari para pengamen kebanyakan.
Hasil dari kerja keras bertahun-tahun mengamen, tanpa harus meminta uang pada orang tua, Adek mengaku sekarang telah bisa membeli sepeda motor. Meskipun demikian, Adek berharap suatu hari nanti di Kota Padang banyak memberikan peluang kerja bagi pengamen dan anak jalanan, agar tidak ada lagi anak jalanan. (**)

0 komentar:

Posting Komentar